Rabu, 01 Mei 2019

Pulau Dua, Surganya Burung

Pulau Dua, Surga Burung yang Kini Sengsara
Lebih kurang 26 tahun silam, Pulau Dua sulit dijangkau lewat daratan. Jalan satu-satunya adalah berperahu. Namun, kini jalan darat menjadi mungkin karena munculnya tanah baru yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Dua. Tanah itu terbentuk akibat proses pendangkalan lumpur dari Sungai Cibanten.
Luas awalnya 8 hektare, berdasarkan Besluit Gouvernements tanggal 30 Juli 1937 No. 21 Stbl 474. Pada saat penetapan, Pulau Dua dan Pulau Jawa dipisahkan selat sempit yang hanya berlebar sekitar 500 meter. Tahun 1978, selat tersebut mengalami pendangkalan hebat. Bila air laut surut, pulau ini menyatu dengan daratan Jawa. Akibatnya batas kawasan tersebut dengan daerah sekitarnya pun turut lenyap.

Untuk keperluan pengamanan, Pemerintah Daerah Serang mengeluarkan Surat Keputusan tahun 1977 yang mendukung pengukuhan Pulau Dua sebagai kawasan Cagar Alam. Pada tahun 1984 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No. 253/Kpts-II/1984 yang menetapkan Pulau Dua sebagai Cagar Alam dengan luas 30 hektare. Secara administratif pulau Dua termasuk Kabupaten Serang, Banten, dengan geografisnya 106°-21’ BT dan 6°01 LS. Curah hujan rata-rata 1500-2000 mm per tahun yang terbasah.
Januari dan Agustus merupakan bulan terkering dengan temperatur rata-rata 26°C. Ketinggian pulau antara 0-10 m dpl (Hoogerwerf, 1949), bagian barat pulau tanahnya agak kering sedangkan timur umumnya rendah dan berawa. Tanah dengan kandungan pasir yang tinggi tidak mampu menahan air hujan sehingga tanah di pulau ini umumnya kering. Sumber air tawar tidak ada. Air rawa berasal dari laut yang menggenangi ketika pasang.
Pulau Dua memiliki lebih dari 85 jenis tumbuhan yang tumbuh, tetapi yang umum dan yang mendominasi jenis api-api (Avicennia marina), bakau (Rhizopora apiculata), dan Diospyros maritime di timur dan sedikit bakau. Bahkan pada garis pantai timur menghadap utara dijumpai formasi tumbuhan api-api yang muda, kemungkinan pengaruh perluasan pulau. Pada pantai timur di tempat terbuka kumpulan beluntas (Pluchea indica less) dan beberapa semak kecil lainnya. Lebih ke arah laut, rumput tembaga/gelang laut (Sesuvium portulacastrum L), dan rerumputan berdaun tajam serta rumput angin (Spinifex littoreus Merr).
Makin ke dalam pulau pada rawa-rawa didominasi api-api diselingi bakau (Rhizophora apiculata) dan Sonnerata sp. Ki duduk, ki getah dan waru laut (Hibiscus tiliaceus L.). Sementara di sebelah utara, tanahnya berpasir dan kering serta lebih tinggi. Tumbuhan yang dapat dijumpai Ki ribut, Ki hoy, tulang ayam, kekapasan serta sawo kecik (Manilkara kauki Dub). Tebing pantai dihiasi dengan dadap (Erythrina veriegata L) waru laut dan kepuh (Sterculia foetida).
Semak menghuni di tempat yang terbuka. Ada juga lalang kapan (Wedelia biflora D.C), dan pace (Morinda citrifolia L.). G. Randy Milton seorang ahli burung yang mengadakan penelitian sejak Oktober 1983 hingga Juni 85 mengatakan dalam laporannya, jumlah burung di Pulau Dua lebih dari 14 ribu ekor dari 90 jenis. Sedangkan yang migran sekitar 29 dari 90 jenis tersebut. Menurut Yus Rusila Noor yang juga melakukan penelitian selama dua tahun dari tahun 2000, saat ini di Pulau Dua tercatat sekitar 108 jenis.

Ancaman
Gerusan ombak di bagian utara yang menyebabkan abrasi menjadi ancaman bagi keutuhan habitat. Namun, yang paling dikhawatirkan Mat Sahi, jagawana kehutanan, adalah pemburu atau pendatang dari luar. Mereka senang menangkap burung dan mengambil telurnya, apalagi saat berbiak.
”Mereka datang tanpa surat izin dan membuat suara gaduh menyebabkan burung beterbangan sehingga kehidupannya terganggu. Selain itu, mereka terkadang mengambil telur atau anak-anak burung,” ujar Mat Sahi.
Pulau Dua dengan empat petugas, dua di pulau, dua di desa dekatnya, Sawah Luhur, masih juga kewalahan menghadapi mereka. Dulu, untuk mengatasi pendatang, kawasan ini diberi pagar kawat berduri. Kini kawat berduri pun sudah tak berbekas, pos pun sudah tidak dapat ditempati. Mat Sahi yang lugu pun sudah kerap ribut dengan pendatang bahkan menjurus keperkelahian.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia melakukan kegiatan penyuluhan informal melalui kegiatan pengajian atau melalui kegiatan Posyandu yang melibatkan ibu-ibu setempat. Melihat potensi Pulau Dua, perlu didirikan beberapa papan pengumuman di beberapa pintu masuk kawasan, dan di Sawah Luhurnya sendiri serta perbaikan pos jaga. Syukur-syukur pos jaga ditambah, yang letaknya di depan dekat pintu masuk, agar petugas dapat mengawasi dengan leluasa, di samping itu penambahan menara pengamatan.
Begitulah kini nasib Pulau Dua. Pendatang beranggapan mengunjungi tempat ini berarti berekreasi. Akibatnya, sampah pun berserakan, suara radio, tape, serta obrolan mengganggu ketenangan kehidupan burung yang ada di sana. Kelihatannya, pemerintah sudah harus turun tangan mengatasi hal ini. Kalau tidak, bagaimana nasib selanjutnya Pulau Dua yang menyandang gelar salah satu ”surga burung”?

Mengamati Burung di Pulau Dua
Pertengahan Maret yang lalu, cuacanya tidak menentu. Terkadang cerah, terkadang mendung. Namun, itu tidak menghalangi saya untuk mengamati burung di Pulau Dua.
Sebelum menginjak kaki ke tempat tujuan, saya mampir ke Desa Sawah Luhur, ke rumah Mat Sahi untuk mengobrol sejenak sambil ngopi. ”Kalau mau enak, nggak capek naik ojek aja. Biayanya lima ribu perak sejalan. Tapi, kalau hujan ojeknya nggak mau, soalnya jalanan di tambak belok dan licin,” ujar Mat Sahi.

Saya pun memutuskan untuk naik ojek menuju Pulau Dua. Saran Mat Sahi boleh juga. Saya memang cepat sampai di tujuan meski harus sport jantung. Bukan apa-apa, tukang ojek lebih suka tancap gas meski harus melewati galangan atau pematang tambak yang baru disiram hujan. Salah-salah, bisa tercebur di tambak.
Mendekati lokasi, tambak beberapa burung kuntul besar (Casmerodius albus) mencari makan di tambak tradisional milik masyarakat. Kadang kala juga, terlihat Cangak abu (Ardea cinerea) dan Cangak merah (Ardea purpurea) mencari makan. Tiba di lokasi terpancang papan yang menunjukkan Pulau Dua sebagai Cagar alam dengan luas 30 hektare. Ada jalan setapak menuju ke dalam kawasan.
Pertama kali saya mengunjungi Pulau Dua tahun 1986 bersama rekan-rekan Yayasan Indonesia Hijau, BScC UNAS, Klub Indonesia Hijau dan SMU Regina Pacis Bogor, infonesia.page4.me. Setelah 18 tahun kemudian saya kembali, ternyata sudah banyak perubahan. Pagar kawat berduri yang membatasi Cagar Alam dengan tambak milik penduduk kini sudah tak ada lagi. Begitu juga dengan dua menara yang dulu berdiri kokoh, kini telah lenyap diganti sebuah menara baru.
Selama perjalanan menuju pos, suara kuntul, blekok, raja udang, terkukur silih berganti bersenandung. Saya harus sangat perlahan mengamatinya. Kalau tidak, burung tersebut akan terbang. Sayang, keasyikan mengamati burung tersebut terganggu saat hujan turun. Terpaksalah saya berjalan terus menuju ke tengah pulau, tempat pos berada.
Bangunan pos berbentuk rumah dengan empat ruangan, ruang tidur, tamu, dapur dan gudang tapi keadaannya sangat menyedihkan. Atapnya sudah lapuk. Lantai yang tadinya semen kini tinggal tanah. Dindingnya kusam tak ada poster atau lazimnya sebuah pos jaga. Di depannya sebuah pohon yang cukup besar dan rindang. Sekitar pohon ada tanah lapang yang cukup besar, dan agak ke depan lagi sebuah menara yang masih layak untuk mengamati burung.
Dari atas menara pemandangan sekitar pulau tampak indah, beberapa burung air seperti kuntul bertengger di ujung pohon. Ada juga serombongan terbang melintas, suara burung serasa tiada henti. Pulau Dua memang surga bagi para burung, celoteh suara burung yang hinggap, maupun terbang. Beberapa burung yang sempat saya amati adalah Blekok (Ardeola speciosa), Kuntul sedang (Egretta intermedia), Kuntul karang (Egretta sacra), Kuntul kecil (Egratta garzetta), Kowak maling (Nyticorax nyticorax), Cangak abu (Ardea cinerea), pecuk padi (Phalacrocorax sulcirostris) dan pecuk ular (Anhinga melanogaster).
Sementara agak ke tengah pulau, di tempat terbuka dan bersemak tampak Cerucuk (Pycnonotus goiauier), Kirik-kirik laut (Merops philippinus), Terkukur (Streptopelia chinensis), Raja-udang biru (Alcedo coerulescens) dan banyak lagi. Sesekali tampak belibis (Dendrocygna arquata) terbang beriringan ditambah Kirik-kirik laut dengan suaranya yang nyaring beterbangan. Benar-benar pemandangan yang mengasyikkan.
Ini hanya sebagian kecil yang aku lihat, dan pasti masih banyak lagi yang menarik untuk diamati. Selain itu ada Kucing bakau (Felis viverrina), Biawak (Varanus salvator), garangan, tikus hutan dan satwa kecil lainnya seperti kelomang, kepiting, ular tambak (Cerberus rhynchops) dan lainnya. Kemungkinan, bertambahnya burung di Pulau Dua karena luas hutan pantai yang semakin bertambah dan persediaan makanan cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar