Sabtu, 11 Mei 2019

Pengganti avtur?

Melambungnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bukan saja membuat pusing industri otomotif. Mereka bisa saja mengembangkan bahan bakar hibrida atau biodiesel. Lalu, bagaimana dengan industri penerbangan?
Pesawat terbang sebagai alat transportasi tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Industri ini juga memerlukan bahan bakar alternatif di luar BBM. Saat ini, ilmuwan dan pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah memutar otak mencari sumber energi alternatif bagi pesawat jet komersial mereka.
Agaknya pencarian itu tidak semudah yang terjadi pada kendaraan biasa. Ilmuwan menghadapi banyak kendala untuk memproduksi dan mengangkut bahan bakar alternatif bagi pesawat terbang. Ada syarat utama di mana bahan bakar tersebut harus mampu bertahan dalam kondisi ekstra dingin saat pesawat berada jauh di atas permukaan bumi. Referensi : https://infonesia.page4.me/
Saat ini, ilmuwan memang sudah menemukan bahan bakar jet alternatif, namun sayangnya justru harganya jauh lebih mahal dibanding bahan bakar yang ada sekarang.
“Jauh lebih mudah mengembangkan bahan bakar bagi kendaraan darat daripada untuk pesawat terbang,” komentar Billy Glover, direktur masalah lingkungan dari Boeing Co seperti yang dilansir AP baru-baru ini.
Biodiesel

Biodiesel
Ilmuwan Boeing sendiri merasa energi alternatif harus segera ditemukan seiring dengan kian melonjaknya harga BBM. Lebih dari itu, Glover menekankan mengenai keberadaan bahan bakar fosil yang terus menyusut.
Mayoritas penerbangan komersial menggunakan bahan bakar yang sama, yakni kerosen. Bahan bakar ini lebih berat daripada bensin yang dipakai pada kendaraan biasa, tapi tidak seberat solar. Bahan bakar ini sengaja didesain setepat mungkin bagi transportasi udara yang mempertimbangkan kondisi suhu rendah di angkasa.
Tentu saja kersosen tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya bahan bakar pesawat terbang, harus dicari bahan bakar lain. Ilmuwan saat ini tengah mempelajari biodiesel, bahan bakar yang terbuat dari kacang kedelai, jagung, dan produk alam lainnya. Sejumlah kendaraan sudah menggunakan bahan bakar biodiesel dan terbukti aman.
Masalahnya, biodiesel yang dapat berjalan baik dipakai pada kendaraan biasa tidak dapat berfungsi ketika dijalankan pada pesawat terbang. Bahan biodiesel akan langsung membeku ketika berada dalam temperatur tinggi. Proses membeku itu bahkan jauh lebih tinggi dibanding dengan bahan bakar tradisional yang masih mampu bertahan pada ketinggian 35.000 kaki. Lalu dicarilah cara agar biodiesel dapat bertahan untuk tidak membeku pada ketinggian tersebut.
Saat teknologi itu sudah ditemukan, muncul masalah baru, yakni masalah keterbatasan lahan untuk menyediakan bahan dasarnya. Di AS tidak ada lahan yang cukup luas untuk ditanami kebun jagung. Kebutuhan pangan manusia jauh lebih diperlukan dari bahan tersebut ketimbang untuk bahan bakar jet.
Robert Dunn, pakar rekayasa kimia dari Departemen Pertanian AS yang saat ini mempelajari biodiesel sebagai bahan bakar jet, merasa bahwa masalah harga menjadi hal utama. “Tantangan saat ini adalah bidang ekonomi. Harga untuk memproduksi biodiesel belum dapat dikatakan ekonomis dibandingkan bahan bakar minyak,” ungkapnya.
Hidrogen Fuel
Hidrogen
Opsi lain yang dapat diambil adalah mencampurkan biodiesel dengan bahan bakar minyak. Pilihan lain yang tidak kalah menantang adalah pemakaian hidrogen sebagai bahan bakar pesawat. Bahan bakar hidrogen ini sudah dipertimbangkan untuk dipakai pada pesawat selama beberapa dasawarsa terakhir.
Gerald Brown, pakar rekayasa senior dari NASA mengatakan bahwa mungkin akan dibutuhkan lebih sedikit modifikasi dalam menjalankan mesin jet dengan hidrogen cair. Kendala besarnya justru terletak pada penyimpanan.
Hidrogen cair harus disimpan dalam temperatur minus 424 derajad Celcius. Selain itu dibutuhkan ruang lebih luas juga untuk menyimpannya. Ini agak sulit sebab semua pesawat terbang mau tak mau harus didesain ulang.
Masalah harga juga menjadi kendala lain yang tidak kalah penting. Hidrogen dapat dipakai saat sudah dikombinasikan dengan elemen lain seperti air, ini menyebabkan munculnya biaya tambahan ketika kita memutuskan untuk memakai hidrogen sebagai sumber energi.

Minggu, 05 Mei 2019

Tikus dikejar kucing

Dulu, saat marak-maraknya demo mahasiswa, ada anekdot begini: mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada rektor, rektor takut pada menteri, menteri takut pada presiden, dan presiden takut pada mahasiswa. 

Anekdot ketakutan dalam siklus tertutup ini saya duga merupakan modifikasi dari anekdot lain yang lebih dahulu populer sebagai berikut: ada tikus terbirit-birit dikejar kucing, si kucing terbirit-birit dikejar anjing, si anjing terbirit-birit dikejar orang Batak, si orang Batak terbirit-birit dikejar seorang perempuan (isterinya), dan si perempuan terbirit-birit dikejar tikus.

Dalam anekdot antarsuku di Indonesia, memang orang Batak termasuk paling sering muncul sebagai korban, antara lain saya kira karena tipologi orang Batak itu sendiri yang lumayan kontroversial di mata orang non-Batak seperti kasar, keras, agresif, berlogat khas, dsb. Maka anekdot yang menyerang orang Batak dapat difahami sebagai sebuah upaya elegen dari fihak non-Batak untuk menyampaikan sebuah feedback. Di fihak lain, anekdot begini bagi saya sebenarnya merupakan sebuah tanda kedewasaan kultural dimana masyarakat sudah mampu mentertawakan (kelemahan) dirinya, sukunya dan bangsanya.

Tetapi di samping tujuan ini, anekdot seperti di atas sebenarnya juga menggambarkan bahwa setiap manusia memiliki sisi lemah dalam dirinya relatif terhadap sesuatu yang lain. Dan ketika sang manusia berhadapan dengan kondisi tersebut umumnya dia tidak bisa berkutik. Dalam suasana yang tidak kondusif itu manusia umumnya cuma bisa menggerutu dan mengumpat diam-diam. Jadi selain menciptakan humor dan tawa, kelemahan juga menciptakan ketakutan dan sungut-sungut. 
Rasa takut manusia
 
Sudah tentu bahwa kelemahan tidak cukup diselesaikan dengan humor dan tawa apalagi sungut-sungut dan hujat. Malah menurut saya keduanya sebenarnya hanya berfungsi sebagai teknik perumusan masalah secara gamblang, tajam dan elegan. Dengan kata lain, kelemahan dan atau kondisi negatif yang dipresentasikan sebagai masalah serta dipaket sebagai humor seharusnya mengundang pikiran kreatif untuk menyelesaikannya pada tingkat esensial.

Tikus-Tikus Korporat

Pada tingkat korporat, dari pengalaman dan observasi saya, terdapat banyak sekali "tikus" (kondisi negatif) yang membuat "perempuan" (karyawan) terjebak dalam sungut-sungut, gerutu dan berbagai hujatan besar maupun kecil. Untuk para eksekutif dan khususnya para pejabat di Divisi SDM, hal-hal ini seyogianya mengundang mereka untuk menyelesaikannya. Soalnya, jika masalah ini dibiarkan atau didiamkan maka sinisme, apatisme, dan demotivasi akan menguat di antara para karyawan. 

Di tengah jargon korporat untuk membangun quality excellence, world class organization, global competitiveness, hi tech hi touch, dan sebagainya yang ramai didengungkan dewasa ini, maka "tikus-tikus" dimaksud menjadi virus ganas yang mematikan roh SDM unggul yang diharapkan menjadi basis bagi terciptanya kondisi-kondisi ideal tadi. 

Tetapi sebelum mencari solusinya lebih dahulu kita berkenalan dengan "tikus-tikus" dimaksud. Dan dalam kesempatan ini saya hanya menampilkan "tikus-tikus" besarnya saja:

1. Atasan Pilih Kasih: Pilih kasih berarti menjadikan seseorang anak emas tanpa rasionalitas. Tapi sebenarnya, orang yang tidak terpilih menjadi anak emas pada saat yang sama dijadikan anak loyang. Maka kelompok loyang ini, jika tidak memberontak, akan tampil sebagai manusia tanpa greget untuk berbuat hal-hal yang menuju excellence. Bagi mereka bekerja hanyalah demi bertahan. Hidup adalah kerakap di batu.

2. Bila Salah Dikritik Bila Benar Tak Ada Pujian: Ini adalah bentuk lain ketidakadilan. Orang yang mengalaminya merasa terluka perasaannya dan sedih hatinya.

3. Hak-Hak Dicabut Tanpa Alasan: Hak-hak karyawan jika ditiadakan tanpa alasan yang kuat terasa sangat menyakitkan. Jika dipaksakan akan menimbulkan perlawanan. Dan jika tidak sanggup dilawan, akan dibalas dengan hati tawar dan pahit. Padahal di fihak lain, orang sebenarnya bersedia menderita bersama asal mereka faham dalam rangka apa mereka menderita. Jadi persoalannya bukan pada penderitaan itu sendiri, tetapi pada why should I suffer?

4. Informasi Disembunyikan (Tidak Transparan): Kenyataan seperti ini berarti ada fihak yang tidak dipercayai. Dan jika orang merasa tidak dipercayai, timbulah dugaan logis bahwa ada kejahatan yang sedang berlangsung diam-diam. Juga perasaan bahwa dirinya disepelekan. Perasaan seperti ini membuat orang kehilangan semangat dan antusiasme.

5. Keahlian Tidak Digunakan: Secara umum orang merasa senang jika dirinya berguna. Jadi jika orang merasa keahliannya tidak dimanfaatkan oleh organisasi, dia merasa dirinya kurang dihargai, dianggap tidak berguna. Hasilnya, demotivasi.

6. Kemampuan Tidak Dikembangkan: Ibarat mesin, orang merasa dirinya dipakai terus sampai soak tanpa servis atau tune-up. Karyawan merasa dirinya dieksploitasi tanpa apresiasi dan pengembangan. Mereka merasa "habis manis sepah bakal dibuang". Maka biasanya orang begini sangat pelit pada perusahaan. Pokoknya bekerja dari jam 8 hingga 5 sore, habis perkara. Sumbangan pikiran dan lain-lain, maaf, tidak bersedia digratisin.

7. Ketidakjelasan: Tiadanya visi dan misi organisasi yang genuine dan powerful, membuat organisasi tidak punya arah yang jelas. Ketidakjelasan ini membuat hilangnya sense of excitement dan sense of purpose. Akibat lainnya, orang bekerja seadanya, secukupnya, atau alakadarnya saja.

8. Kiri Kanan Atas Bawah Munafik Semua: Munafik adalah untrue to oneself. Padahal organisasi adalah "kita sebagai kesatuan". Jadi jika ada kemunafikan sebenarnya kita sedang saling membohongi. Dan kita tahu bahwa kita saling membohongi. Maka tidak akan tercipta teamwork apalagi sinergi. Dalam iklim kemunafikan, jika tidak terpengaruh dan larut, orang akan melakukan dekomitmen terhadap organisasinya.

9. Masa Depan Karir Tidak Jelas: Banyak karyawan merasa bahwa masa depan mereka tidak jelas. Perusahaan mau kemanapun juga tidak jelas. Jadi no hope for the future. Maka mereka kehilangan roh transformasi seperti kata Teilhard de Chardin: The greatest force for the advancement of human species is a common hope held together. Jadi tanpa harapan yang kuat tidak akan ada excellence.

10. Pekerjaan yang Monoton. Banyak karyawan merasa pekerjaannya monoton dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Malah ada orang merasa sudah terkotakkan. Dalam kondisi demikian orang hanya akan bekerja sebagai upaya bertahan saja sekadar demi gaji bulanan dan status non pengangguran. No variety, no hope, no future. Sudah pasti no motivation for excellence.

11. Penyakit KKN: Praktik-praktik KKN yang telah menjadi rahasia umum dalam organisasi membuat warga organisasi tidak termotivasi untuk bekerja melampaui mediokritas, terutama jika mereka tidak termasuk dalam grup yang diuntungkan oleh KKN tersebut. Bukan cuma itu, KKN sebenarnya adalah antitesis dari upaya excellence apapun.
Tikus KKN
 
12. Penyakit Sikut Menyikut: Jika dalam organisasi yang berlaku adalah nilai-nilai rimba, maka orang yang tidak berbakat atau tidak bersedia menjadi "ular dan serigala" segera akan keluar. Jika bertahan maka ia akan terpinggirkan atau menjadi pecundang. Jelas cita-cita menjadi world class company pun cuma sebuah slogan kosong.

13. Peraturan yang Irasional: Peraturan selalu dibuat oleh para pimpinan. Namun seringkali peraturan (yang diberlakukan secara umum) dibuat sebagai reaksi atas sebuah kasus khusus. Akibatnya peraturan ini terasa irasional dalam situasi yang berbeda dengan kasus pemicunya. Lanjutannya, orang jadi marah, kesal, dan malas.

14. Perubahan Tanpa Tujuan yang Jelas: Adagium "tak ada yang konstan kecuali perubahan itu sendiri" disalahmengerti menjadi "perubahan demi perubahan". Padahal di tengah perubahan orang butuh kepastian arah, kepastian nilai-nilai, dan kepastian makna. Tanpa itu maka segala sesuatu menjadi chaos, absurd, dan meaningless.

15. Pimpinan Tidak Jujur. Bawahan yang tahu bahwa pimpinannya tidak jujur (entah dalam soal keuangan atau yang lainnya) sebenarnya menghilangkan trust level dalam tata hubungan mereka. Padahal di mana tidak ada rasa saling percaya, tidak mungkin ada komitmen. Dan tanpa komitmen besar tidak ada prestasi besar bisa dicapai.

16. Rapat-Rapat Tidak Ada Tindak Lanjutnya. Dalam rapat-rapat para eksekutif suka cerita besar, ngomong angin surga, mau bikin ini mau bikin itu. Habis rapat things as usual. Lama-lama orang jadi sinis. Datang ke rapat pun malas. Ngapain? Buang waktu! Apalagi rapatnya tanpa honor dan konsumsi. Males ah!

17. Saya Harus Disiplin Tapi Atasan Tidak: Secara moral atasan adalah teladan. Artinya hanya jika orang sudah melakukan apa yang diperintahkannya maka ia qualified memerintah. Atasan yang meminta bawahan berdisiplin tanpa ia sendiri berdisiplin (di mata anakbuahnya!!!) akan menjadi bahan tertawaan. Secara moral dia tidak berhak meminta apapun yang tidak dia lakukan lebih dahulu.

18. Sedikit-Sedikit Kena Marah: Orang yang dimarahi tanpa alasan yang masuk akal, apalagi marah cuma sebagai kegemaran atasan, merusak harga diri dan citra diri bawahan. Ketersinggungan yang diakibatkannya dapat berubah menjadi dendam, kebencian, dan keinginan untuk merusak. Jadi boro-boro excellence.

19. Sistem Tidak Adil: Ketidakadilan dalam segala bentuk, entah sistem penggajian atau pemanfaatan fasiltas, pasti mengundang repons negatif. Jika ketidakadilan tidak bisa dilawan secara frontal, maka orang melawannya diam-diam dalam berbagai bentuk seperti mangkir dengan alasan dibuat-buat, kinerja asal jadi, perlawanan simbolik, dan lain-lain.

20. Usul Tidak Diperhatikan: Usul-usul yang tidak diperhatikan menimbulkan kekecewaan. Lama-lama orang merasa tidak ada gunanya mengajukan usul. Padahal jika no participation,pasti no sense of ownership, demikian pula no commitment.

Semoga di rumah kerja Anda, tidak terdapat banyak tikus.

Rabu, 01 Mei 2019

Mendidik Tenaga Pintar dan Trampil Butuh Dukungan Penuh Industri

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia gelar yang diperoleh masih merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh dalam menentukan strata sosial seseorang. Terlepas dari kualitas dan kompetensi sesungguhnya si penyandang gelar itu, yang penting jika sudah mempunyai embel-embel gelar di belakang atau di depan nama seseorang, kelas sosialnya jadi lebih tinggi.
Gelar Kelulusan
Hal itu pula yang menyebabkan jenis penyelenggaraan pendidikan yang berkembang adalah yang dapat memberikan gelar kepada lulusannya. Jika tidak memiliki gelar, dianggap kurang bergengsi dan tidak diminati. Padahal sesungguhnya dalam banyak kasus di masyarakat gelar yang disandang tidak disertai dengan kompetensi atau keahlian sebagaimana semestinya. Kompetensi merupakan gabungan pengetahuan teoritis dan praktek yang mestinya diperoleh melalui lembaga pendidikan.
Paradigma ini berkembang dari keberpihakan pemerintah terhadap dunia pendidikan sendiri. Pemerintah tampaknya membiarkan dan bahkan ikut para penyelenggara pendidikan untuk mengembangkan pendidikan untuk menuju kemampuan teoritis semata tanpa dibarengi keterampilan dalam menerapkan ilmu atau teori tersebut.
Padahal dunia kerja tidak saja membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teoritis tetapi juga harus trampil dalam mempraktekkan ilmu yang dimilikinya ( kompetensi) dan siap bekerja.


Karenanya, tidak mengherankan jika saat ini di Indonesia begitu banyak orang-orang terpelajar atau berpendidikan tetapi menganggur alias tidak bekerja. Biasanya alasan dari kondisi ini adalah tidak tersedianya lapangan kerja. Padahal sesungguhnya lapangan kerja masih begitu banyak. Hanya saja kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja itu tidak dapat dipenuhi oleh para penganggur terdidik tadi.
Selain kompetensi yang diabaikan dalam sistem pendidikan kita, kerjasama antara dunia industri yang membutuhkan tenaga kerja dengan lembaga pendidikan yang memasok juga masih jauh dari kurang. Padahal sesungguhnya industri merupakan tempat para terdidik untuk menerapkan teknologi kerbaru yang ada.
Untuk mengantisipasi hal seperti ini, orientasi pendidikan di negara kita memang harus berubah. Lembaga pendidikan seharusnya bisa menyediakan sumber daya manusia yang terdidik secara teori dan trampil dalam penerapannya, serta siap memasuki dunia kerja.
Dari beberapa fakta menunjukkan hasil SDM seperti itu biasanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan kejuruan atau Politeknik. Di lembaga seperti ini warga belajar umumnya mempunyai keseimbangan dalam kemampuan teori dan keterampilan untuk menerapkannya. Sehingga mereka lebih siap untuk bekerja.
Di Indonesia lembaga pendidikan politeknik ini memang kurang berkembang. Di samping orientasi pendidikan nasional yang masih sebatas gelar kesarjanaan, juga keberpihakan pemerintah yang sangat jauh dari memadai.
Beberapa lembaga pendidikan kejuruan seperti politeknik di Indonesia hadir dipelopori pihak lain non pemerintah. Misalnya, Politeknik Manufaktur Bandung yang dulunya dikenal dengan nama Polman Swiss hadir dari dukungan pemerintah Swiss. Demikian jua ATMI Solo yang awalmkehadirannya dipelopori negara lain. Politeknik Astra, hadir dengan dukungan sepenuhnya Yayasan Astra Bina Ilmu, Politeknik Gajah Tunggal berdiri atas dukungan penuh Gajah Tunggal Group.
Dari data, para lulusan lembaga pendidikan Politekni di atas, hampir tidak ada yang menganggur. Sebagian bahkan menjalani ikatan dinas untuk mensuplay kebutuhan sumber daya manusia industri foundersnya.
Melihat gelagat ini semestinya pemerintah lebih terbuka matanya dalam mengarahkan pendidikan nasional kita. Namun kenyataannya hal itu datangnya lama sekali. Pendidikan berbasis kompetensi dan konsep Link and Match dalam bidang pendidikan baru dihembuskan dalam beberapa tahun belakangan ini. Padahal lembaga pendidikan politeknik seperti di atas sudah hadir jauh sebelunya.

Membutuhkan Dana Besar

Ass Dir. for Student Affairs Politeknik Manufaktur ASTRA Kristanto membenarkan, sejauh ini masyarakat memang kurang berminat pada pendidikan tinggi kejuruan seperti politeknik. Salah satu sebabnya adalah karena tidak mempunyai gelar yang diyakini dapat mengangkat status sosial seseprang.
Biaya mahal edukasi
Biaya Mahal Edukasi

Akan tetapi di samping itu, keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan seperti ini juga diakui sangat kurang. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah lembaga pendidikan politeknik dibandingkan perguruan tinggi universitas atau sejenisnya.
Minimnya jumlah lembaga pendidikan seperti politeknik tersebut menurutnya salah satunya adalah karena besarnya investasi yang dibutuhkan untuk membangun satu lembaga pendidikan politeknik. Lembaga ini akan menempa warga belajar menjadi ahli-ahli yang mampu menerapkan ilmu yang dimilikinya secara langsung di dunia industri.
Untuk itu tentunya lembaga pendidikannya harus dilengkapi dengan seluruh media atau alat praktek yang memadai. Mulai dari mesiin-mesin, workshop, dan laboratorium yang sesuai dengan standar industri. Belum lagi peralatan itu harus selalu di up grade agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi yang dipakai industri.
Meski demikian Kristanto juga mengakui untuk mendirikan dan menjag keberlangsungan lembaga pendidikan politeknik seperti halnya Polman ASTRA tidak cukup hanya keberpihakan pemerintah semata. Industri yang menjadi tempat diterapkannya teknologi terkini harus memberi dukungan sepenuhnya.
Hubungan antara industri dengan lembaga pendidikan ini harus terjalin dengan baik dalam kerangka menuju tujuan yang sama. Pihak lembaga pendidikan akan menghasilkan lulusan yang dibutuhkan dan sesuai dengan kualifikasi industri. Sementara untuk itu industri harus bersedia dan memberikan kesempatan sebagai theaching facility.
Di Indonesia, kata Kristanto, belum semua industri bersedia menjadi theaching facility dari lembaga pendidikan tersebut. “ Jika tidak ada dukungan dari industri, lembaga pendidikan politeknik ini tidak akan bisa berjalan, kalaupun jalan kualitasnya tidak dapat dijamin mempunyai kompetensi terutama dalam penerapan ilmunya ke dunia industri. Lulusannya tidak akan siap kerja,”

Pulau Dua, Surganya Burung

Pulau Dua, Surga Burung yang Kini Sengsara
Lebih kurang 26 tahun silam, Pulau Dua sulit dijangkau lewat daratan. Jalan satu-satunya adalah berperahu. Namun, kini jalan darat menjadi mungkin karena munculnya tanah baru yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Dua. Tanah itu terbentuk akibat proses pendangkalan lumpur dari Sungai Cibanten.
Luas awalnya 8 hektare, berdasarkan Besluit Gouvernements tanggal 30 Juli 1937 No. 21 Stbl 474. Pada saat penetapan, Pulau Dua dan Pulau Jawa dipisahkan selat sempit yang hanya berlebar sekitar 500 meter. Tahun 1978, selat tersebut mengalami pendangkalan hebat. Bila air laut surut, pulau ini menyatu dengan daratan Jawa. Akibatnya batas kawasan tersebut dengan daerah sekitarnya pun turut lenyap.

Untuk keperluan pengamanan, Pemerintah Daerah Serang mengeluarkan Surat Keputusan tahun 1977 yang mendukung pengukuhan Pulau Dua sebagai kawasan Cagar Alam. Pada tahun 1984 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No. 253/Kpts-II/1984 yang menetapkan Pulau Dua sebagai Cagar Alam dengan luas 30 hektare. Secara administratif pulau Dua termasuk Kabupaten Serang, Banten, dengan geografisnya 106°-21’ BT dan 6°01 LS. Curah hujan rata-rata 1500-2000 mm per tahun yang terbasah.
Januari dan Agustus merupakan bulan terkering dengan temperatur rata-rata 26°C. Ketinggian pulau antara 0-10 m dpl (Hoogerwerf, 1949), bagian barat pulau tanahnya agak kering sedangkan timur umumnya rendah dan berawa. Tanah dengan kandungan pasir yang tinggi tidak mampu menahan air hujan sehingga tanah di pulau ini umumnya kering. Sumber air tawar tidak ada. Air rawa berasal dari laut yang menggenangi ketika pasang.
Pulau Dua memiliki lebih dari 85 jenis tumbuhan yang tumbuh, tetapi yang umum dan yang mendominasi jenis api-api (Avicennia marina), bakau (Rhizopora apiculata), dan Diospyros maritime di timur dan sedikit bakau. Bahkan pada garis pantai timur menghadap utara dijumpai formasi tumbuhan api-api yang muda, kemungkinan pengaruh perluasan pulau. Pada pantai timur di tempat terbuka kumpulan beluntas (Pluchea indica less) dan beberapa semak kecil lainnya. Lebih ke arah laut, rumput tembaga/gelang laut (Sesuvium portulacastrum L), dan rerumputan berdaun tajam serta rumput angin (Spinifex littoreus Merr).
Makin ke dalam pulau pada rawa-rawa didominasi api-api diselingi bakau (Rhizophora apiculata) dan Sonnerata sp. Ki duduk, ki getah dan waru laut (Hibiscus tiliaceus L.). Sementara di sebelah utara, tanahnya berpasir dan kering serta lebih tinggi. Tumbuhan yang dapat dijumpai Ki ribut, Ki hoy, tulang ayam, kekapasan serta sawo kecik (Manilkara kauki Dub). Tebing pantai dihiasi dengan dadap (Erythrina veriegata L) waru laut dan kepuh (Sterculia foetida).
Semak menghuni di tempat yang terbuka. Ada juga lalang kapan (Wedelia biflora D.C), dan pace (Morinda citrifolia L.). G. Randy Milton seorang ahli burung yang mengadakan penelitian sejak Oktober 1983 hingga Juni 85 mengatakan dalam laporannya, jumlah burung di Pulau Dua lebih dari 14 ribu ekor dari 90 jenis. Sedangkan yang migran sekitar 29 dari 90 jenis tersebut. Menurut Yus Rusila Noor yang juga melakukan penelitian selama dua tahun dari tahun 2000, saat ini di Pulau Dua tercatat sekitar 108 jenis.

Ancaman
Gerusan ombak di bagian utara yang menyebabkan abrasi menjadi ancaman bagi keutuhan habitat. Namun, yang paling dikhawatirkan Mat Sahi, jagawana kehutanan, adalah pemburu atau pendatang dari luar. Mereka senang menangkap burung dan mengambil telurnya, apalagi saat berbiak.
”Mereka datang tanpa surat izin dan membuat suara gaduh menyebabkan burung beterbangan sehingga kehidupannya terganggu. Selain itu, mereka terkadang mengambil telur atau anak-anak burung,” ujar Mat Sahi.
Pulau Dua dengan empat petugas, dua di pulau, dua di desa dekatnya, Sawah Luhur, masih juga kewalahan menghadapi mereka. Dulu, untuk mengatasi pendatang, kawasan ini diberi pagar kawat berduri. Kini kawat berduri pun sudah tak berbekas, pos pun sudah tidak dapat ditempati. Mat Sahi yang lugu pun sudah kerap ribut dengan pendatang bahkan menjurus keperkelahian.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia melakukan kegiatan penyuluhan informal melalui kegiatan pengajian atau melalui kegiatan Posyandu yang melibatkan ibu-ibu setempat. Melihat potensi Pulau Dua, perlu didirikan beberapa papan pengumuman di beberapa pintu masuk kawasan, dan di Sawah Luhurnya sendiri serta perbaikan pos jaga. Syukur-syukur pos jaga ditambah, yang letaknya di depan dekat pintu masuk, agar petugas dapat mengawasi dengan leluasa, di samping itu penambahan menara pengamatan.
Begitulah kini nasib Pulau Dua. Pendatang beranggapan mengunjungi tempat ini berarti berekreasi. Akibatnya, sampah pun berserakan, suara radio, tape, serta obrolan mengganggu ketenangan kehidupan burung yang ada di sana. Kelihatannya, pemerintah sudah harus turun tangan mengatasi hal ini. Kalau tidak, bagaimana nasib selanjutnya Pulau Dua yang menyandang gelar salah satu ”surga burung”?

Mengamati Burung di Pulau Dua
Pertengahan Maret yang lalu, cuacanya tidak menentu. Terkadang cerah, terkadang mendung. Namun, itu tidak menghalangi saya untuk mengamati burung di Pulau Dua.
Sebelum menginjak kaki ke tempat tujuan, saya mampir ke Desa Sawah Luhur, ke rumah Mat Sahi untuk mengobrol sejenak sambil ngopi. ”Kalau mau enak, nggak capek naik ojek aja. Biayanya lima ribu perak sejalan. Tapi, kalau hujan ojeknya nggak mau, soalnya jalanan di tambak belok dan licin,” ujar Mat Sahi.

Saya pun memutuskan untuk naik ojek menuju Pulau Dua. Saran Mat Sahi boleh juga. Saya memang cepat sampai di tujuan meski harus sport jantung. Bukan apa-apa, tukang ojek lebih suka tancap gas meski harus melewati galangan atau pematang tambak yang baru disiram hujan. Salah-salah, bisa tercebur di tambak.
Mendekati lokasi, tambak beberapa burung kuntul besar (Casmerodius albus) mencari makan di tambak tradisional milik masyarakat. Kadang kala juga, terlihat Cangak abu (Ardea cinerea) dan Cangak merah (Ardea purpurea) mencari makan. Tiba di lokasi terpancang papan yang menunjukkan Pulau Dua sebagai Cagar alam dengan luas 30 hektare. Ada jalan setapak menuju ke dalam kawasan.
Pertama kali saya mengunjungi Pulau Dua tahun 1986 bersama rekan-rekan Yayasan Indonesia Hijau, BScC UNAS, Klub Indonesia Hijau dan SMU Regina Pacis Bogor, infonesia.page4.me. Setelah 18 tahun kemudian saya kembali, ternyata sudah banyak perubahan. Pagar kawat berduri yang membatasi Cagar Alam dengan tambak milik penduduk kini sudah tak ada lagi. Begitu juga dengan dua menara yang dulu berdiri kokoh, kini telah lenyap diganti sebuah menara baru.
Selama perjalanan menuju pos, suara kuntul, blekok, raja udang, terkukur silih berganti bersenandung. Saya harus sangat perlahan mengamatinya. Kalau tidak, burung tersebut akan terbang. Sayang, keasyikan mengamati burung tersebut terganggu saat hujan turun. Terpaksalah saya berjalan terus menuju ke tengah pulau, tempat pos berada.
Bangunan pos berbentuk rumah dengan empat ruangan, ruang tidur, tamu, dapur dan gudang tapi keadaannya sangat menyedihkan. Atapnya sudah lapuk. Lantai yang tadinya semen kini tinggal tanah. Dindingnya kusam tak ada poster atau lazimnya sebuah pos jaga. Di depannya sebuah pohon yang cukup besar dan rindang. Sekitar pohon ada tanah lapang yang cukup besar, dan agak ke depan lagi sebuah menara yang masih layak untuk mengamati burung.
Dari atas menara pemandangan sekitar pulau tampak indah, beberapa burung air seperti kuntul bertengger di ujung pohon. Ada juga serombongan terbang melintas, suara burung serasa tiada henti. Pulau Dua memang surga bagi para burung, celoteh suara burung yang hinggap, maupun terbang. Beberapa burung yang sempat saya amati adalah Blekok (Ardeola speciosa), Kuntul sedang (Egretta intermedia), Kuntul karang (Egretta sacra), Kuntul kecil (Egratta garzetta), Kowak maling (Nyticorax nyticorax), Cangak abu (Ardea cinerea), pecuk padi (Phalacrocorax sulcirostris) dan pecuk ular (Anhinga melanogaster).
Sementara agak ke tengah pulau, di tempat terbuka dan bersemak tampak Cerucuk (Pycnonotus goiauier), Kirik-kirik laut (Merops philippinus), Terkukur (Streptopelia chinensis), Raja-udang biru (Alcedo coerulescens) dan banyak lagi. Sesekali tampak belibis (Dendrocygna arquata) terbang beriringan ditambah Kirik-kirik laut dengan suaranya yang nyaring beterbangan. Benar-benar pemandangan yang mengasyikkan.
Ini hanya sebagian kecil yang aku lihat, dan pasti masih banyak lagi yang menarik untuk diamati. Selain itu ada Kucing bakau (Felis viverrina), Biawak (Varanus salvator), garangan, tikus hutan dan satwa kecil lainnya seperti kelomang, kepiting, ular tambak (Cerberus rhynchops) dan lainnya. Kemungkinan, bertambahnya burung di Pulau Dua karena luas hutan pantai yang semakin bertambah dan persediaan makanan cukup.